Keindahan alam Ranu Kumbolo, menghipnotis setiap mata pendaki Gunung Semeru. Sudah pasti, spot telaga yang satu ini, akan selalu dijadikan basecamp
mereka sebelum kembali melanjutkan pendakian. Ranu kumbolo merupakan
surga bagi para pendaki. Setidaknya, bisa terlihat dari kontur telaga
yang punya luas 14 Ha di lereng Semeru ini. Airnya yang jika dilihat
dari atas bukit, berwarna biru bercampur kehijauan. Saat matahari
terbit, pendaran sinarnya menembus celah dua buah bukit yang kemudian
berjatuhan di segala sudut telaga nan eksotis ini. Pantulan sinar
matahari hangat, berbaur udara dingin khas pegunungan, adalah sensasi
tersendiri saat pagi hari. Sisa-sisa embun masih membasahi setiap
hijauan yang tumbuh subur di sepanjang tatapan mata. Begitu juga dengan
kabut yang masih berada di titik sejajar dengan para pendaki yang sedang
bermukim di tepiannya. Sebuah pemandangan pagi hari yang spektakuler.
Ranu Kumbolo berada di ketinggian 2400 mdpl.
Letaknya sekitar 10,5 km dari desa Ranu Pane. Telaga ini menjadi bagian
tak terpisahkan dalam dunia pendakian di Gunung Semeru. Bicara tentang
Gunung Semeru, tak lengkap bila tak berbicara mitologi gunung itu
sendiri. Dahulu kala, Semeru adalah bagian dari Gunung Meru, di
Jambudwipa atau India. Saat itu, para dewa bergotong royong memindahkan
sebagian puncak Gunung Meru ke Pulau Jawadwipa. Mereka beranggapan bahwa
posisi Pulau Jawadwipa tidaklah stabil; terombang-ambing oleh lautan.
Saat memindahkan puncak Gunung Meru itulah, beberapa bagiannya tercecer
hingga membentuk gugusan gunung di Jawa Barat, Tengah, hingga Timur.
Bagian yang paling besar, jatuh dan membentuk Gunung Semeru. Lalu,
puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa dan terbentuklah Gunung
Pawitra atau Penanggungan.
Menarik disimak, dari sekian gunung, ada satu
gunung yang dianggap sebagai replika Gunung Semeru. Nama gunung itu,
yaitu Gunung Penanggungan (1659 mdpl). Antara keduanya, terdapat
kemiripan, yaitu pada bentuk kerucut puncaknya. Kedua gunung itu juga
dianggap suci oleh umat Hindu-Budha. Sejumlah situs kuno seperti candi,
yang terletak di sekitar Gunung Penanggungan, ada yang dibangun dengan
arah hadap khusus ke Gunung Penanggungan. Seperti Candi Jawi, yang
dibangun oleh Raja Singasari terakhir, yaitu Prabu Kertanegara. Selain
itu, di lereng Penanggungan, banyak bertebaran candi yang dibangun
sebagai tempat penyembahan dan pemujaan. Ada pula artefak, batu
prasasti, altar pemujaan, punden berundak, dan ribuan pecahan gerabah dari berbagai bentuk.
***
Ranu kumbolo, di satu sisi, adalah sebuah
tantangan. Sebab untuk mencapainya, butuh kesiapan fisik dan mental
prima. Sisi lain, Ranu Kumbolo, juga bukan tanpa ada kisah bersejarah.
Kisah bersejarah tersebut mulai terbentuk ratusan tahun lampau dan
bertautan dengan pendakian kala itu.
Pada zaman dahulu kala, ada seorang raja dari Kerajaan Kadiri, bernama Prabu Kameswara. Dia memerintah sekitar tahun 1180-1190-an, dengan bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.
Suatu hari, dia melakukan perjalanan suci atau yang disebut dengan Tirthrayata
menuju Gunung Semeru. Jalur yang ditempuh, melalui Pasrujambe (nama
sebuah kecamatan di Lumajang); sebuah jalur pendakian kuno dan berbeda
dengan sekarang yang dimulai dari Ranu Pane. Bukan tanpa tujuan Prabu
Kameswara melakukan pendakian ke Semeru. Gunung yang berada di Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru ini, memang termasuk gunung yang
disucikan. Begitu pula air yang terdapat di Ranu Kumbolo, mewujud
sebagai air suci. Puncaknya yang bernama Mahameru, adalah tempat para
dewa bersemayam.
Prabu Kameswara mendaki Semeru untuk
bersemedi; mendekatkan diri pada Sang Hyang Pencipta alam semesta. Untuk
menandai kedatangannya ke Semeru, Prabu Kameswara mengabadikannya ke
dalam sebuah prasasti. Namanya Prasasti Ranu Kumbolo. Prasasti ini berada di tepian danaunya. Ada sebuah tulisan di batu prasasti tersebut, yaitu Ling Deva Mpu Kameswara Tirthayatra.
Menurut sejarawan M.M. Sukarto Atmojo, tulisan yang berbahasa Jawa kuno
tersebut, dapat diartikan bahwa ketika itu, Prabu Kameswara pernah
melakukan kunjungan suci dengan mendaki Gunung Semeru. Angka tahun
prasasti, masih menurut sang sejarawan, berkisar pada 1182 M.
Namun, amat disayangkan,
saat saya bersama kedelapan rekan pendaki, berkunjung ke Ranu Kumbolo,
13-14 Oktober lalu, belum menemukan situs purba tersebut. Sehingga,
sumber foto prasasti yang saya tampilkan di tulisan ini, bukanlah hasil
bidikan saya. Ke depan, insya Allah, saya akan
melakukan observasi langsung di tempat yang dikatakan sebagai jalur
pendakian kuno di Pasrujambe.
Seorang arkelog dari Universitas Negeri
Malang, Dwi Cahyono, pada 2011 pernah mengunjungi daerah Pasrujambe,
Lumajang. Di sana, dia menelusuri tempat-tempat yang (pada awalnya)
diduga menyimpan berbagai peninggalan bersejarah. Dan, seperti dugaan,
daerah Pasrujambe terbukti menyimpan banyak serpihan benda-benda kuno,
seperti menhir, prasasti, maupun peralatan masyarakat sehari-hari pada
zaman kuno. Ada pula penemuan beberapa batu tulis yang
bercerita tentang perjalanan suci orang-orang Blambangan menuju Gunung
Semeru. Salah satu prasasti itu tertulis Rabut Macan Petak yang mana ini
merupakan nama dari kerajaan Macan Putih yang berada di Banyuwangi saat
ini. Pada waktu itu, Lumajang ditengarai sudah berkembang menjadi area
tujuan Sidhayatra atau perjalanan suci.
(sumber: kabarlumajang.net)
Melalui Prasasti Ranu Kumbolo, kita bisa
mengerti, sejak ratusan tahun lalu, nenek moyang kita juga pendaki
gunung. Apa yang mereka lakukan, merupakan bagian dari perjalanan
spiritual menuju kesempurnaan diri. Suatu sikap agung yang lalu
diperkuat dengan torehan prasasti atau yang sejenisnya, untuk mengenang
misi perjalanan mereka. Dan, prasasti yang mereka tinggalkan, telah
menjadi benda peninggalan yang sangat berarti bagi generasi kekinian.
Terutama untuk menyingkap keadaan di masa itu.
Salam.